Ketika Hidup Tidak Berakhir di Napas Terakhir: Memaknai Hari Donor Organ Sedunia 2025

Di tengah pesatnya kemajuan dunia medis dari kecanggihan teknologi bedah, peningkatan keakuratan diagnostik, hingga kemampuan melakukan transplantasi multi-organ masih ada satu hal yang tak tergantikan: kebaikan hati manusia. Sebab pada akhirnya, di balik setiap transplantasi yang berhasil, tersimpan kisah tentang seseorang yang memilih untuk memberi harapan hidup kepada orang lain, bahkan setelah ia sendiri tak lagi bernapas.
Setiap tanggal 13 Agustus, dunia memperingati Hari Donor Organ Sedunia (World Organ Donation Day). Peringatan ini bukan sekadar penanda kalender kesehatan global, tetapi momen untuk mengingatkan kita semua bahwa di balik tubuh yang telah berhenti berfungsi, masih tersisa potensi luar biasa: kemampuan untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Melalui satu tindakan donor, seseorang dapat menyelamatkan hingga 8 nyawa, dan membantu lebih dari 50 orang lainnya melalui donasi jaringan seperti kornea, kulit, atau tulang.
Mengapa Donor Organ Penting?
Menurut World Health Organization (WHO), transplantasi organ merupakan satu-satunya bentuk pengobatan yang efektif bagi pasien dengan gagal organ terminal seperti ginjal, hati, paru-paru, dan jantung. Tanpa transplantasi, banyak dari mereka hanya memiliki harapan hidup dalam hitungan bulan atau bahkan minggu.
Namun, WHO juga menyoroti realitas global yang memprihatinkan: permintaan jauh melebihi ketersediaan organ. Ribuan pasien setiap tahun meninggal dalam daftar tunggu transplantasi karena jumlah pendonor tidak mencukupi atau proses donasi belum didukung sistem yang memadai.
Realita di Indonesia: Potensi Besar, Tantangan Tak Kecil
Di Indonesia, praktik transplantasi organ masih berkembang secara bertahap. Meski sudah ada keberhasilan transplantasi ginjal, hati, dan kornea, sistem nasional donor organ terutama dari donor yang telah meninggal (cadaveric donor) masih terbatas. Hingga kini, sebagian besar transplantasi dilakukan antar anggota keluarga (donor hidup), dan sistem donor pasca-kematian belum berjalan secara optimal.
Menurut penelitian Bennett dan Hanny (2009), rendahnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam donor organ dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keyakinan agama, norma budaya, kurangnya informasi, dan aspek keuangan. Banyak masyarakat belum mengetahui bahwa proses donor organ bisa dilakukan dengan tetap menjaga kehormatan jenazah, atau bahwa tindakan tersebut justru sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan tentang memberi manfaat kepada sesama.
Selain itu, persepsi bahwa transplantasi adalah layanan mahal juga turut menjadi penghalang. Padahal, sejak 2014, BPJS Kesehatan telah menanggung biaya transplantasi ginjal di rumah sakit tertentu, menjadikannya lebih terjangkau dibandingkan terapi hemodialisis seumur hidup.
Upaya Pemerintah: Membangun Sistem Nasional Donor Organ
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah mengambil langkah nyata untuk mendorong sistem donor organ yang terstruktur dan beretika. Salah satunya melalui terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1033/2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Transplantasi Organ dari Donor Mati Batang Otak. Dokumen ini menjadi acuan penting dalam membentuk jejaring rumah sakit, menyusun mekanisme rujukan dan pengambilan organ, serta memastikan setiap proses berjalan secara hukum, medis, dan etik.
Selain itu, Kemenkes telah mendorong terbentuknya pusat transplantasi di berbagai daerah. Contohnya adalah RSUP Fatmawati yang berhasil melakukan transplantasi ginjal dari seorang ibu kepada anaknya, serta RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang sukses menjalankan transplantasi antar keluarga. Ini menunjukkan bahwa kapasitas dan kesiapan tenaga medis di Indonesia terus berkembang.
Donor Organ Bukan Sekadar Prosedur Medis, Tapi Aksi Kemanusiaan
Donor organ adalah bentuk solidaritas manusia tertinggi. Ia adalah perwujudan dari kasih sayang yang tidak terbatas oleh waktu, usia, bahkan kehidupan itu sendiri. Menjadi pendonor organ berarti mewariskan kehidupan, memberi kesempatan kepada seseorang untuk kembali melihat, bernapas, makan tanpa selang, atau berjalan tanpa rasa nyeri.
Namun untuk menjadikan donor organ sebagai budaya yang diterima luas di Indonesia, edukasi publik yang masif dan konsisten sangat dibutuhkan. Masyarakat perlu diberikan informasi yang benar dan menyeluruh tentang proses donor, manfaatnya, serta perlindungan hukum dan etik yang menyertainya.
Ajak Diri Sendiri dan Sekitar
Hari Donor Organ Sedunia 2025 mengajak kita untuk berhenti sejenak dan merenung: Jika kita memiliki kesempatan untuk menyelamatkan hidup seseorang, bahkan setelah kita tiada—mengapa tidak? Satu keputusan kecil hari ini, bisa menjadi alasan seseorang menyambut hari esok.
Kita bisa memulai dari hal-hal sederhana:
- Mencari tahu tentang cara menjadi pendonor organ resmi di Indonesia,
- Menyampaikan niat menjadi pendonor kepada keluarga terdekat,
- Mendukung kampanye edukasi donor organ di sekolah, komunitas, dan media sosial,
- Menolak mitos dan informasi yang menyesatkan seputar transplantasi .
Karena hidup, kadang tidak berhenti di napas terakhir. Ia bisa terus berlanjut dalam tubuh orang lain, melalui organ yang kita tinggalkan sebagai warisan terbaik.
Humas RSUP Jayapura/Iqbal Bagus Hadiasto
Tulisan ini ditinjau langsung oleh: dr. Amos Pongbulaan, Sp.PD
Referensi
Bennett, P., & Hanny, R. (2009). Persepsi masyarakat terhadap donor organ di Indonesia. Jurnal Transplantasi Indonesia, 5(2), 45–52.
Health Resources & Services Administration. (n.d.). Organ donation process. U.S. Department of Health and Human Services. https://www.organdonor.gov
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Pedoman penyelenggaraan transplantasi organ dari donor mati batang otak. https://keslan.kemkes.go.id
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Transplantasi ginjal pertama di RSUP Fatmawati dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. https://www.kemkes.go.id
World Health Organization. (2024). Transplantation. https://www.who.int/health-topics/transplantation
Komentar